“Takut Ketinggian”, Sebuah Deklarasi dan Upaya Pemanfaatan Sumber Daya

Restoration Club
4 min readDec 25, 2020
Photo Credit: Bima Saputra

“Tidak ada kata seharusnya dalam usaha mencapai kebahagiaan. Tidak perlu ada standar yang harus dikejar, tidak perlu ada perbandingan dengan realitas di luar, tidak perlu ada rumusan-rumusan yang rumit dan mewah. Satu-satunya standar yang berlaku adalah kebahagiaan itu sendiri, kebahagiaan yang sementara, yang definisinya bisa berubah-ubah, yang akan menuntun kita pada hal-hal baru seiring perubahan tersebut.”

Dua hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk merumuskan “Takut Ketinggian”, sebuah acara musik kolektif yang persiapannya kacau balau. Bayangkan, acara ini lahir dari guyonan lewat tengah malam di warung kopi yang jam operasionalnya hanya sampai jam 23.30, penentuan siapa-siapa yang bakal main dilakukan saat itu juga dan dihubungi saat itu juga (dan beberapa langsung menjawab), pembagian tugas kepanitiaannya tidak jelas, dan pemberian nama acaranya diusahakan se-absurd mungkin dengan makna yang pencetusnya pun tidak tahu. Sebagai usaha mencapai kebahagiaan, kebahagiaan macam apa yang bakal didapat lewat cara kerja yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata dengan konotasi positif ini?

Melalui perencanaan yang singkat, “Takut Ketinggian” akhirnya diputuskan untuk terselenggara pada 24 Desember 2020, tepat pada malam Natal, di rooftop Sastro Socialhouse. Penampilnya adalah Tomen Bringin, Adhit Tarakan, Adi Alam, Adi Bukan Alam (Oddwain), The Talking Hand, dan BLEKBVDDY + michelin. Musisi-musisi yang dipilih oleh panitia hanya punya waktu dua hari untuk mempersiapkan dirinya sebelum tampil di depan khalayak. Mereka layak diberi simpati karena sudah terlanjur mau main di “Takut Ketinggian” dan hanya diberi sedikit waktu untuk bersiap.

Pamflet “Takut Ketinggian”. Photo Credit: Panitia Takut Ketinggian

Pada hari H penyelenggaraan “Takut Ketinggian”, panitia masih tampak santai menyesap sedikit-sedikit kopinya di warung kopi padahal jam sudah menunjukkan waktu 15.00 dan acara harus dimulai pada 16.00. Satu pun bagian dari set panggung belum ada yang dibawa naik ke rooftop Sastro Socialhouse. Sedikit kepanikan baru menghinggapi mereka tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Dengan tergesa-gesa, satu per satu alat dinaikkan ke rooftop, hasilnya? Panggung baru bisa dipakai pada pukul 16.30. Penataan suara dilakukan dengan cepat agar acara tidak molor terlalu lama.

“Takut Ketinggian” dibuka pada pukul 17.00 dengan Tomen Bringin dan Adhit Tarakan yang ternyata bermain bersama. Jika tidak bermain bersama, acara ini bakal punya durasi yang lebih lama. Total durasi pertunjukan juga harus berkurang karena BLEKBVDDY + michelin tidak bisa manggung karena merasa tidak cukup siap (bisa dimaklumi mengingat sempitnya waktu untuk mempersiapkan diri) dan Adi Bukan Alam (Oddwain) yang ternyata sedang bekerja. Penampilan Tomen Bringin dan Adhit Tarakan bukanlah penampilan paling mulus untuk sebuah pembuka acara, tapi ternyata mereka mendapatkan apresiasi yang baik dari penonton karena penampilan Tomen Bringin sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang karena ia didapuk sebagai nabinya omong kosong oleh muda-mudi Kepanjen, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar walk the walk dengan tampil di panggung “Takut Ketinggian”.

Suasana sore di rooftop Sastro Socialhouse benar-benar menciptakan atmosfer yang sangat memanjakan siapapun yang ada di dalam “Takut Ketinggian”. Hembusan pelan angin sore disertai kereta api yang sesekali lewat tepat di sebelah venue saat Tomen Bringin dan Adhit Tarakan tampil adalah suguhan istimewa yang mungkin bagi beberapa orang menjadi pengalaman pertamanya menikmati suasana seperti ini. Suasana sekitar venue yang semacam ini didukung dengan tata ruang rooftop Sastro Socialhouse yang sangat raw, tembok rendah dengan pagar kawat yang berkarat, dan dikelilingi atap bangunan utama di dua sisinya. Atap ini pada akhirnya menjadi tempat duduk untuk penonton yang tidak mendapatkan tempat di sekitar panggung. Pemandangan ini sungguh indah untuk dipandang, acara musik dengan penonton yang hinggap di genteng sambil menyelami momen “Takut Ketinggian” dan sesekali teralihkan perhatiaannya untuk melihat kereta api lewat dari atas rooftop.

Foto venue “Takut Ketinggian”. Photo Credit: raadira

Acara berlanjut pada pukul 19.00 setelah break cukup lama. Adi Alam merangkul penonton dengan musiknya yang mendayu dan dramatis di tengah cahaya remang-remang venue saat malam. Penampilan Adi Alam sungguh matang, ia mampu membuat penonton terdiam dan fokus pada penampilannya. Perantauannya ke Jakarta nampaknya berpengaruh besar terhadap perkembangan kemampuan musisi kelahiran Kepanjen ini. “Takut Ketinggian” ditutup dengan penampilan The Talking Hand, band rock yang ternama di Kepanjen. Tampil dengan set akustik, The Talking Hand nampak tidak terlalu nyaman, mungkin karena mereka lebih terbiasa main dengan set full-band. Kendati demikian, musik rock ritmis yang disajikan The Talking Hand tetap menjadi daya tarik tersendiri.

“Takut Ketinggian” berakhir dengan riuh tepuk tangan penonton. Seperti lazimnya acara musik kolektif, pasca acara menjadi kesempatan bagi siapapun untuk berjejaring dengan orang lain apapun kepentingannya, apalagi acara ini dihadiri oleh beberapa kolega musisi dari Kota Malang. Entah rencana apa yang akan muncul dari percakapan-percakapan pasca acara ini, layak untuk ditunggu.

Pada akhirnya, “Takut Ketinggian” nampaknya berhasil mendeklarasikan beberapa hal, bahwa sebenarnya Kepanjen mempunyai sumber daya untuk sering-sering membuat acara semacam ini, menciptakan panggung pementasan untuk artis-artisnya salah satunya melalui Sastro Socialhouse dan semoga banyak tempat lainnya di Kepanjen, dan yang terpenting, membentuk sebuah ekosistem kesenian yang baik bagi siapapun. Poin terakhir ini menjadi tugas paling berat, membutuhkan dedikasi, konsistensi, waktu, dan tenaga yang banyak. Artikel ini adalah salah satu upaya untuk melanjutkan semangat yang termuat dalam deklarasi “Takut Ketinggian”, sekaligus sebagai awalan untuk pengarsipan yang serius tentang seluk-beluk per-skena-an Kepanjen, semoga.

Sebagai penutup, ucapan terimakasih patut dipersembahkan pada semua orang di “Takut Ketinggian”, kawan-kawan yang telah bersedia hadir, Sastro Socialhouse, serta Lutfi Naufali (Kipul) yang menjadi pemantik api untuk “Takut Ketinggian” dan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya.

Artikel ditulis oleh shuttleark

--

--

Restoration Club

Kolektif dan media pengarsipan pergerakan seni muda-mudi Kepanjen, Kab. Malang | IG: @restorationclub.kpj